RAKYAT MERDEKA — Sebuah tradisi bernama mbrandu diduga menjadi sarana penyebaran penyakit antraks di wilayah Dusun Jati, Desa Candirejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta baru-baru ini.
Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Retno Widyastuti mengatakan, mbrandu ini adalah sebuah tradisi masyarakat, di mana warga membeli ternak yang mati milik tetangga di desanya.
Diketahui tradisi ini hidup di tengah masyarakat dengan asas gotong royong dan kepedulian, yang memiliki maksud meringankan warga yang mengalami kesusahan.
“Itu adalah salah satu hal membikin kita tidak berhenti-berhenti ada antraks itu mergane (karena) kalau dipotong itu kan bakteri yang ada di darah itu mengalir keluar berubah menjadi spora. Spora itu yang tahan puluhan tahun,” ujar Retno ditemui di Kantor Pemkab Gunungkidul, Rabu (5/7).
Dia menjelaskan seperti pada kasus di Dusun Jati, seekor ternak (sapi) mati karena sakit. Namun tanpa warga tahu, hewan tersebut ternyata sudah terjangkit antraks.
Retno menjelaskan, jika pemiliknya adalah pasien yang setelah itu meninggal pada 4 Juni 2023 dan dinyatakan terkonfirmasi antraks.
“Kalau saya tanya (ke warga) memang tujuannya baik, membantu warga yang kesusahan biar tidak terlampau rugi itu dibagi-bagi, satu paketnya itu Rp45 ribu. Dijual, uangnya dikumpulkan dikasihkan yang kesusahan,” jelas Retno.
Akan tetapi, pihaknya menyayangkan sebab tradisi yang dijalankan tanpa kewaspadaan ini berujung membahayakan kesehatan warga setempat.
“Pas saya di sana bilang kalau mau mbrandu ya mbrandu barang sehat gitu. Barang bermutu jadi tidak membahayakan manusia,” tegasnya.
Di sisi lain, Wakil Bupati Gunungkidul Heri Susanto mengklaim pemkab sudah melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai potensi bahaya dari tradisi mbrandu tersebut.
“Kalau sosialisasi saya pikir sudah terus menerus ya. Kawan-kawan dari dinas peternakan sudah mengedukasi mensosialisasikan agar yang sakit itu tidak di-mbrandu, tidak dikonsumsi. Kalau itu sudah berulang-ulang. Tapi kembali lagi faktor masyarakat itu sehingga eman-eman ya,” ucap Heri di Kantor Bupati Gunungkidul, Rabu.
“Tapi yang jelas terus akan kita melakukan sosialisasi selain itu mungkin akan kita nanti upaya-upaya ke depan yang bisa meringankan beban saudara-saudara kita yang punya hewan ternaknya sakit atau mati. Kita harus ada upaya karena itu resiko tinggi karena seperti antraks itu dampaknya luar biasa dampaknya,” tambahnya.
Penyakit Antraks
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul memastikan jumlah warga yang meninggal karena paparan penyakit antraks hanya satu orang saja, bukan tiga orang seperti yang dilaporan Kementerian Kesehatan.
Heri mengatakan pasien tersebut merupakan warga Jati, Candirejo, Semanu, Gunungkidul yang meninggal 4 Juni 2023 lalu.
“Satu yang betul-betul karena antraks,” ucap Heri.
Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Gunungkidul Sidig Hery Sukoco menambahkan, pasien meninggal tersebut didiagnosis terkena antraks melalui uji laboratorium RSUP Dr. Sardjito.
Sementara untuk dua pasien lainnya pada catatan diagnosis untuk penyebab kematiannya bukanlah antraks.
Dikonfirmasi bahwa pasien yang meninggal untuk kasus suspek antraks ini satu. Dengan diagnosis konfirmasi laboratorium oleh rumah sakit dr Sardjito karena meninggalnya di rumah sakit dr Sardjito.
Namun, kedua pasien meninggal tersebut tidak menjalani tes untuk mengetahui apakah mereka terjangkit antraks atau tidak. Walaupun, kata Sidig, keduanya sempat mengonsumsi daging ternak terpapar antraks.
“Informasinya juga mengonsumsi,” sebutnya.
Berdasarkan tes serologi antrak, untuk jumlah warga positif yang terpapar ada 87 orang dari total 143 diperiksa. Mereka merupakan warga Candirejo dan masih menjalani masa inkubasi 90 hari semenjak sampel pertama muncul.
“Tidak ada yang bergejala semua sekarang dalam pemantauan kondisi sehat,” tuturnya.